Selasa, 05 April 2011

Masa Depan PERNIKAHAN Beda Agama

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Pernikahan beda agama adalah topik yang selalu ‘panas’ untuk beberapa kalangan. Menurut sebagian orang, menikah tak perlu pandang agama, yang penting ada cinta dan saling menghormati. Lalu muncul retorika: “Buat apa menikah dengan sesama Muslim, kalau ujung-ujungnya saling menyakiti?” Retorika ini pun kemudian ditarik lebih lentur lagi: “Buat apa menikah dengan lawan jenis, kalau tak ada kebahagiaan?” Mungkin besok-besok akan muncul lagi sanggahan mereka: “Buat apa menikah dengan manusia, kalau binatang lebih menarik?”
Kata mereka, agama apa pun, yang penting orangnya baik. Bukan hanya yang beragama, yang atheis pun banyak yang baik. Tapi orang lupa bahwa “baik” itu pun relatif, dan dalam urusan agama akan selalu muncul pertanyaan: “untuk siapa?”
Ada kisah menarik tentang seorang pegawai pabrik yang setiap hari datang paling duluan, kerjanya paling cepat, tidak pernah mengeluh, tidak membuat kesalahan kecuali yang sifatnya manusiawi belaka, prestasinya tidak pernah di bawah target, dan seterusnya. Di akhir bulan, ia kebingungan karena gajinya tidak diberi. Tapi bagian human resource malah lebih bingung lagi menghadapinya, karena ia bukanlah pegawai pabrik tersebut.
Sebaik-baiknya seorang pegawai, tentu tidak wajar jika ia meminta upah dari perusahaan selain tempat ia bekerja. Demikian juga seorang anak yang nilai di rapornya bagus tidaklah wajar meminta hadiah dari tetangga. Sebaliknya, ilmuwan pengembang senjata di Amerika Serikat bisa jadi mendapat tanda jasa di negerinya, namun dimaki-maki di Irak atau Afghanistan. Rakyat Cina pun marah jika Kaisar Jepang melayat ke pemakaman tentara Jepang dari masa Perang Dunia II, karena di mata rakyat Cina, mereka bukanlah pahlawan, tapi penjahat biadab.
Dulu, orang-orang miskin dari kalangan sahabat Rasulullah saw. melancarkan protes. Mereka yang banyak hartanya bisa mendulang pahala banyak-banyak dengan bersedekah. Lalu bagaimana dengan yang miskin? Tapi dalam Islam, pintu amal terbuka luas bagi siapa saja. Mulai dari berdzikir, menebar senyum, mengucap salam, membuang paku dari jalan, menshalatkan jenazah, semuanya bisa dilakukan tanpa perlu biaya. Manusia bebas mencari-cari ladang amalnya sendiri, dan amal sekecil apa pun pasti akan dibalas oleh Allah SWT, asalkan amal-amal itu dilakukan untuk Allah, bukan yang lain.
Sudah barang tentu penganut agama selain Islam tidak beramal untuk Allah, bahkan mungkin mereka tak kenal sama sekali pada Allah. Karena itu, balasan dari amal-amal mereka hendaknya dimintakan kepada yang mereka sembah, seandainya memang sembahan-sembahan mereka itu bisa memberi ganjaran. Tantangan ini sudah sejak lama diajukan oleh Nabi Ibrahim as., dan hingga kini masih berlaku.
Jangan hiraukan dagelan yang mengatakan bahwa Tuhan yang disembah semua agama adalah Tuhan Yang Satu, karena deskripsi yang mereka gunakan sama sekali berbeda. Kalau ada yang bilang bahwa si fulan beranak dan yang lain mengatakan sebaliknya, tahulah kita bahwa salah satunya pasti berbohong.
Banyak yang takut dengan rasa percaya diri umat Muslim. Dalam sebuah orasi ilmiah yang disampaikan di hadapan para profesor doktor dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan, Syed M. Naquib al-Attas secara gamblang mengatakan bahwa agama yang benar hanyalah Islam. Beranjak dari podium, datanglah para profesor yang merasa grogi karena agamanya tidak diakui sebagai agama yang benar. Tapi menurut Prof. al-Attas, seorang Muslim tidak berhak membenarkan agama yang lain. Adapun ketidaksetujuan umat lain, itu adalah sepenuhnya hak mereka. Toh, umat Islam tak pernah meminta umat lain untuk membenarkan agama Islam. Umat Islam sudah cukup percaya diri tanpa perlu mengemis-ngemis pengakuan orang lain.
Gelombang ekonomi syariah yang muncul belakangan ini tidak lahir tiba-tiba, melainkan dengan sebuah perjuangan panjang dan serius. Banyak yang menggugat, kenapa ekonomi harus dikait-kaitkan dengan agama. Sebagai argumen terakhir, ust. Didin Hafidhuddin pun mengajukan solusi: umat Islam tak memaksa umat lain untuk menjalankan ekonomi syariah. Kalau mau (dan mampu), silakan umat Kristiani membangun konsep ekonomi Kristen, umat Hindu membangun ekonomi Hindu, dan umat Budha membangun ekonomi Budha. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa ajaran Islam juga mencakup bidang ekonomi. Jika umat lain merasa kecil hati menghadapi kenyataan ini, itu urusannya sendiri.
Fenomena di atas hanya sebagian kecil dari bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tidak ada agama yang netral. Masing-masing memiliki standar kebenarannya sendiri-sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, ust. Adian Husaini mengkompilasi berbagai pandangan pemuka agama Islam pada saat Republik Indonesia baru berdiri, seputar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Menurut para tokoh tersebut, tuntutan penghapusan tujuh kata itu benar-benar tindakan keji yang dilakukan oleh orang-orang yang membenci Islam. Betapa tidak, Piagam Jakarta adalah hasil kesepakatan founding fathers Indonesia. Tujuh kata yang diminta untuk dihapus itu pun tidak menindas hak siapa pun (kecuali kalau memurtadkan umat Muslim dianggap sebagai haknya umat lain). Tiba-tiba muncul ultimatum sepihak (yang konon) dari Indonesia Timur, dengan ancaman akan memisahkan diri jika ultimatumnya tidak dituruti. Pada saat itu, Jepang belum benar-benar hengkang, sedangkan pasukan Sekutu sudah siap-siap menyerbu masuk. Kalau pemerintah Indonesia tidak solid, maka lenyaplah Republik ini. Maka umat Islam pun mengalah dengan menerima penghapusan tersebut, demi berdirinya pemerintahan Republik Indonesia yang berdaulat. Inilah pengorbanan pahit yang dilakukan oleh umat Islam demi tegaknya negara ini. Sayangnya, hingga kini masih ada saja yang mempertanyakan nasionalisme umat Muslim, dan tak ada yang mempertanyakan nasionalisme para pembuat ultimatum tersebut. Perlu dicatat, hingga kini kebenaran ultimatum itu pun masih simpang siur, karena saksinya hanya Bung Hatta, dan opsir Jepang yang disebut-sebut telah mengantar pesan itu pun sebelum wafatnya sudah pernah mengaku bahwa ia tak pernah membawa pesan kepada Bung Hatta.
Ketika ada artis perempuan yang menikah dengan seorang lelaki Non-Muslim, banyak yang mempertanyakan berita ini pada Buya Hamka. Menurut beliau, larangan bagi Muslimah untuk menikahi lelaki Non-Muslim memiliki hikmah yang sangat mendalam. Kalau seorang lelaki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, maka menjadi kewajiban bagi suaminya untuk menjamin sang istri menjalankan agamanya dengan benar, termasuk mengantarkannya ke rumah ibadahnya, jika perlu. Akan tetapi, apa jaminannya seorang lelaki Non-Muslim akan membiarkan istrinya menjadi Muslimah yang baik? Kenyataannya, tak ada satu agama pun di dunia ini yang secara gamblang menjamin hak-hak umat beragama lainnya sebagaimana agama Islam.
Serangkaian masalah akan muncul belakangan. Anak-anak akan dibiarkan memeluk agama apa? Menurut Islam, setiap anak yang lahir ke dunia pastilah Muslim. Kalau sampai memeluk agama lain, maka orang tuanyalah yang telah menjerumuskannya. Maka orang tua yang Muslim pasti tak rela anaknya menjadi kafir. Tapi ketidakrelaan ini juga bisa mengakibatkan ketersinggungan oleh pasangan hidupnya yang bukan Muslim. Bahkan sebelum ia menikahi seorang Non-Muslim, seharusnyalah bertanya kepada diri sendiri: “Relakah jika di akhirat kelak dipisahkan dengannya?” Sampai hatikah kita melihat anak-anak, istri atau suami kita dijebloskan ke neraka, karena hidup mereka bukan untuk Allah? Tentu saja ada catatan lain yang harus kita camkan baik-baik: ada kemungkinan istri, suami dan anak-anak kitalah yang justru akan menyeret kita ke neraka.
Wassalaamu’alaikum wr. wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar